Rabu, 25 Februari 2015

And I hate to say this.............perpisahan

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Friendship..isn't something you learn in school. But if you haven't learned the meaning of friendship, you really haven't learned anything - Muhammad Ali
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ehhmmm ga terasa sudah mau menghitung hari ya bakal meninggalkan kota tercinta ini, my second home Balikpapan. Banyak hal akan saya rindukan selama 4th disini, ga macet, bersih, kuliner, tempat nongkrong, ibu kost yang baik hati, dan yang paling ga bakal dilupakan adalah bubuhan. Pasti readers bertanya tanya apa sih bubuhan itu ? Bubuhan sebutan orang Balikpapan akan sahabat. Ya kalau kita bicara mengenai sahabat, pasti ada yang tersenyum, menangis, tertawa tapi yang pasti bahagia, karena kalau ga bahagia bukan sahabat donk namanya. Sudah beberapa hari ini saya melow karena bubuhan japri bbm/wa melow-melowan gitu padahal saya masih di Balikpapan lho belum pindah.

Maka dari itu, kali ini judulnya sangat special saya dedikasikan untuk my best bubuhans selama di Kalimantan sebagai ungkapan rasa terima kasih karena justru mereka mau menganggap saya seperti saudara sendiri. Mulai dari teman kerja, teman main, teman mengaji yang semuanya ada yang kenal secara sengaja, kenal ga sengaja, kenal di airport, di salon, di klinik kecantikan, kenal dari teman ke teman, wah seru pokoknya cara berkenalan yang beragam, bukan sinetron tapi ini nyata hehe...

Special thanks to :
Ustadz Adi, Syech, Erma, Yulis, Nur Hikma, Aydaa, En Hikmah, Indar, Ifa, Yuli, Irma, Dendy, Arnold, Arief, Acid, Dede, Sandhy, Anggun, Erwin, Adrian, Novri, Asun, Rizal, Radit, Risma, Yeni, Anang, Aganatha, Garry, Noldy, Ferlie, Doni, Syarif, Ika, Doddy, Fitri, Fikry, Vicky, Yogi, Taufik, Ludvi, Ratih, Hayati, Dita, Anitha, Lucy, Panji, RK, Agus, Tri, Zacky, Bayu, Yusuf, Yudi, Rian, Yoge, Andri, Neni, Eko, Syl, Jaya, Didin, Mahsun, Habibie, Hairy, Wahyu

Bersama mereka saya tahu arti merantau jauh dari keluarga dan menemukan keluarga baru, tahu artinya hidup, berteman, bekerja, berbisnis, traveling. Believe it or not, sepertinya ga pernah saya menemukan kerikil-kerikil yang tajam selama pertemanan, mungkin ada tetapi saking asyiknya berteman dengan mereka sampai tidak merasakan hal yang begitu meresahkan hati dan hal negatif lainnya. Jadi teringat salah satu quote dari Seneca, seorang filsuf Romawi "Salah satu kualitas yang paling indah dari persahabatan sejati adalah memahami dan dipahami".

Satu saat saya akan kembali main kesini and guys, bukakan pintu rumah kalian lebar-lebar ya karena saya akan numpang nginep dan makan hehe. Keep in touch ya and I will miss all of you guys….BFF (Best Friend Forever) ^_^


Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Nilailah seseorang dengan teman dekatnya.”

Jumat, 19 Desember 2014

Are We a Good Leader ?

*********************************************************************
The best leader is when people do not notice his attendance – Lao Tsu
*********************************************************************
I like that quote, so thus inspiring me to write about it.

Pernah tidak berada dalam satu kondisi di pekerjaan hampir setiap hari meeting, bagaimana rasanya? Kalau saya sih bosan, mengantuk pula. Dan pernah kah ada di satu kondisi jarang meeting bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari, lalu bagaimana rasanya? berdasarkan pengalaman sih, malah saya lebih bisa fokus bekerja, kreatif dan berani membuat keputusan sendiri.

Berbeda dengan salah satu tokoh favorite saya, Warren Buffet, Entrepreneur dari AS yang pernah menjadi orang terkaya no.1 di dunia. Beliau hanya menerapkan meeting 1-2x dalam setahun. Sekali dalam budget meeting dan sekali dalam pelaporan pencapaian target.

Weehhh kok bisa ya? kok ampuh ya? Bisa lah. Pernah dengar "Put the right man on the right place" yap, this is the key. Memilih orang yang tepat dengan positive attitude dan diberikan positive culture akan mempermudah jalannya suatu divisi atau suatu perusahaan.

Mari kita berkaca dan merenung bahkan untuk diri saya sendiri, dengan beberapa pertanyaan kontemplatif berikut :
1. Apakah saya sudah cocok menjadi atasan?
2. Apakah anak buah saya merasa nyaman dengan kehadiran saya dikantor atau malah takut?
3. Bisakah saya menemukan orang yang tepat di divisi atau perusahaan saya?
4. Apakah saya termasuk atasan yang tidak melanggar aturan sendiri?
4. Apakah saya termasuk atasan yang menepati ucapan/janjinya sendiri?
4. Apakah saya termasuk atasan yang bisa percaya dengan bawahan?

Beberapa pertanyaan diatas merupakan  langkah langkah sederhana untuk menjadikan seorang atasan disegani dan disenangi oleh bawahannya. Semoga dengan langkah langkah kecil diatas menjadikan kita seorang atasan yang berwibawa. SELAMAT MENJADI ATASAN YANG AMANAH DAN DICINTAI OLEH BAWAHAN.

Selasa, 16 Desember 2014

Wise within your words

Orang mukmin itu bukan orang yang suka melaknat ~ HR Turmudzi
Half of seeming clever is keeping your mouth shut at the right times ~ Patrick Rothfuss




Seseorang suatu ketika mengeluh 'Saya sudah sering sekali mendengarkan ceramah, menyimak mubaligh yang menyampaikan kebenaran, dan mengkaji sendiri buku-buku tentang ajaran Islam. Akan tetapi, mengapa ketika saya menyampaikannya kepada orang lain, rasa-rasanya kata-kata ini selalu saja tidak cocok dengan yang ada di dalam kalbu? Dan yang lebih menyedihkan lagi, mengapa kata-kata yang keluar dari lisan ini tampaknya seperti masuk ke telinga kanan keluar lagi dari telinga kiri? Sama sekali tidak menimbulkan kesan dan tidak pula berbekas di dalam pikiran maupun hati orang yang mendengarkannya."
Seandainya saja keluhan tersebut adalah yang juga kita pertanyakan selama ini, maka bisa jadi kata-kata berhikmah dari lman Ibnu Atho'illah berikut ini sebagai jawabannya. “Cahaya (nuur) para ahli hikmah (ahli ma'rifat) itu selalu mendahului perkataan mereka. Karenanya, manakala telah mendapat penerangan dari cahaya tersebut maka sampailah kalimat yang mereka ucapkan itu." tulisnya dalam kitab Al Hikam.
Kalimat Ibnu Atho'illah di atas kurang lebih dapat diartikan, bahwa orang-orang yang telah mengenal Allah dengan baik selalu sadar bahwa kebenaran itu milik Allah. Akibatnya, kalau mau mengucapkan sesuatu, selalu hatinya terlebih dahulu berlindung kepada Allah dari tipu daya syetan dan memohon kepada-Nya agar lidahnya dapat menjadi jalan kebenaran.
Hal seperti inilah yang mungkin jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Biasanya kalau kita ingin menyampaikan sesuatu kepada orang orang lain, kita akan sangat sibuk merekayasa kata-kata yang akan diucapkan. Jarang kita lakukan ketika ingin berbicara, sibuk meminta pertolongan kepada Allah Azza wa JaIla. Padahal, yang mengetahui kebenaran hanyalah Allah. Benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah.

Ucapan = lidah, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Andai saja kita semua tahu dan paham dengan kekuatan kata-kata, mungkin kita akan berhati-hati ketika berucap. Karena hanya diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan amarah seseorang dan dibutuhkan beberapa kata juga untuk menenangkan seseorang.

Kita bisa saja tak suka dengan apa yang kita lihat, tak suka dengan apa yang orang lain perbuat, tak suka dengan apa yang orang lain tulis atau katakan. Namun, kritikan, lontaran, dan tanggapan yang kita berikan terhadap hal-hal yang tak kita suka itu tak bisa seenaknya kita keluarkan dari mulut kita. Segala perkataan yang dikeluarkan harus tetap kita pikirkan dengan matang agar tak menyinggung perasaan orang lain. Itulah kedewasaan dan kematangan berpikir yang hakiki. Kata-kata yang kita keluarkan dari mulut bisa menunjukkan karakter kita seperti apa. Dan orang lain juga bisa menilai diri kita dari perkataan kita itu.

Dan buat saya " Respect itu dibangun BUKAN diminta" dan semua berawal dari sederhana sebelum sikap kita yaitu kata-kata. Karena setiap kata-kata yang kita keluarkan akan menunjukkan siapa diri kita sebenarnya.

Yuukk....budayakan membaca

Lagi-lagi inspirasi menulis didapatkan dari sekitar. Kali ini saya dapatkan ketika berkunjung ke salah satu toko buku di mall untuk membeli buku yang saya tunggu sejak akhir November lalu, "A Simple Life" by Desi Anwar. Akhirnya terbit juga ya, congratz Mba Desi (kenal juga ga gw hehehe).
Baiklah, saya tidak akan membahas isi buku itu tetapi lebih ingin membahas tentang budaya membaca.

Terlahir dari Ayah yang gemar membaca, mungkin itu menurun kepada saya. Ayah yang seorang kontraktor bangunan kala itu, ditengah kesibukannya pergi pagi pulang malam, Ayah masih bisa sempatkan waktu untuk membaca. Apa saja Ayah baca, entah koran, buku, majalah dll. Maka tidak heran walau hanya seorang pegawai, tetapi Ayah mengerti politik bahkan dapat dengan fasih mengajarkan kalkulus atau aljabar matematika kepada saya. 

Jorge Luis Borges, penulis kenamaan Argentina, pernah mengungkapkan, diantara semua instrumen manusia yang paling penting, tak diragukan lagi, adalah buku. Menurutnya, seperti juga mikroskop/teleskop bagi penglihatan, lalu telepon bagi pendengaran/suara, maka buku adalah kepanjangan dari ingatan dan imajinasi.
Saya sepakat dengan pendapat itu. Buku bisa membuat kita menengok jauh sekali ke masa lalu, mengenal sejarah, dan mengenal bangsa kita. Hal itu tentu saja tidak bisa dianggap enteng. Sastrawan terbaik Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah berujar, "Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”

Tetapi tengok lah sekarang, sepertinya minat baca bangsa Indonesia sangat kurang. Sederhana saja, berapa kali dalam sebulan kita mengunjungi toko buku ? siapa pengarang favorite kita? apa buku favorite kita? 
Hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menunjukkan, minat baca bangsa Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Menurut UNESCO, indeks minat membaca Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dalam setiap seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Tragis kan?

Mari kita timbulkan kesadaran di dalam diri kita, keluarga atau komunitas besar lainnya untuk gemar membaca. Yang biasanya gemar menuruti anak main ke wahana bermain, sekarang ganti spot yang lebih edukatif, ke toko buku, mungkin membosankan diawal namun lama-lama akan terbiasa jika para orang tua juga membiasakan habit ini. 
Saya berharap, kedepan Indonesia bisa menjadi “bangsa pembaca buku”. Kita tidak lagi susah menemukan orang membaca di atas bis, kereta api, bandara, taman, dan lain-lain.


Any book that helps a child to form a habit of reading, to make reading one of his deep and continuing needs, is good for him (Maya Angelou)

Servant Leadership

Judul kali ini mengingatkan saya kepada mantan boss/kakak/sahabat, Pak Budi Darmawan a.k.a Pak BD, my ex Senior Manager. Kenapa? Dalam pekerjaan beliau selalu "meracuni" saya untuk customer oriented walau saya bukan seorang sales dan being a servant leader. Bukan hanya sekedar teori tetapi Beliau mencontohkan, mengaplikasikannya kepada saya sebagai bawahannya. Dengan bahasa dan sikap yang lugas, gaul dan down to earth, saya atau bahkan semua karyawan dapat memahami apa yang Beliau sampaikan. Aahhh jadi kangen sama ex-boss/kakak ku satu ini, kalau manggil aku dari ruangannya entah untuk ngobrol kerjaan atau patungan beli gorengan pasti manggilnya "ddiinnnccceeee....", jadilah sekarang aku lebih terkenal dengan sebutan dince ZzzzzZzzzz

Sejenak kita tinggalkan salah satu real inspirator saya itu ya. Mari kita kupas lebih dalam lagi dan kita mulai dari pilar-pilar dari servant leadership terlebih dahulu (ref. Bruner Corporation)



Jadi apa sih Servant Leadership itu ? Adalah budaya melayani orang-orang yang Anda pimpin; Distribusi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memungkinkan karyawan untuk membuat keputusan sendiri; Melihat hal-hal melalui mata orang-orang yang Anda pimpin; Menempatkan diri pada posisi orang lain; dan Menjaga kesejahteraan sesama karyawan dalam pikiran dan sikap.

Servant Leadership bukan hanya praktek - itu adalah budaya memimpin dengan contoh, yang dapat diterapkan baik kehidupan pribadi dan profesional. Dengan merangkul peran seorang servant leader, Anda memilih untuk menegakkan dan mewujudkan Tujuh Pilar Servant Leadership. Anda sendiri yang mencari perubahan, menciptakan hubungan yang otentik, bertahan dengan ketidakcemasan, berinvestasi pada orang yang bisa dimotivasi, dan fokus untuk melakukan sesuatu yang benar untuk dilakukan

Dengan memberdayakan orang/pegawai dan menciptakan lingkungan kerja yang positif, sudah pasti keuntungan dan kesuksesan akan mengikuti.

" True leadership must be for the benefit of the followers, not to enrich the leader " ~ John C.Maxwell

" Leaders don't force people to follow, they invite them on a journey " ~ Michael D.Ruslim

Listening with Eyes, Seeing with Ears

Tulisan saya kali ini, mempunyai alasan yang sederhana, karena kebanyakan orang di zaman hedonis seperti sekarang lebih senang berbicara/berkomentar daripada mendengar/melihat. Menarik untuk mengutip BrainyQuote dari beberapa orang hebat menurut versi saya yang dengan Simple Words nya bisa diambil makna dan pelajaran hidup. Sebut saja :

I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully - Ernest Hemingway

Listening with Eyes, Seeing with Ears - Gill "CSI" Grissom

Seeing much, suffering much and studying much, are three pillars of learning - Benjamin Disraeli

For every good reason there's to lie, there's a better reason to tell the truth - Bo Bennett

Kita hanya pengamat dan penikmat, bukan hakim - Supernova

Terkadang didalam sepi dikamar kost saya sering merenung sampai introspeksi diri, kenapa ya kita ini senang sekali berbicara daripada mendengar/melihat. Padahal contoh orang hebat sudah memberitahukan diatas sebagai pelajaran hidup kita, yang mungkin mereka pernah mengalami hal yang sama dengan kita dan sudah mengambil hikmahnya. 

"INGIN", ini penyebabnya mungkin. Hati-hati dengan INGIN mu/saya karena seringkali itu adalah penyebab utama terampasnya kebahagiaanmu atau penyebab dosa mu.

INGIN Dihargai
INGIN Dihormati
INGIN Diistimewakan
INGIN Dimengerti 
INGIN Dimaklumi
INGIN Diapresiasi
INGIN Dimuliakan
Dan masih banyak ingin-ingin lainnya.

Kemarin, ya baru saja kemarin saya lagi-lagi mendapatkan pengalaman berharga. Terima kasih kawan karena engkau mengajarkan ku banyak pelajaran. Belajar agar kelak ilmuku bertambah, aku tidak seperti engkau yang dengan mudah menghakimi orang. Agar kelak pengetahuanku berkembang, untuk berusaha menyampaikan kepada orang yang fakir ilmu seperti saya dengan bahasa yang mudah dimengerti tapi bukan menghakimi. Agar kelak aku tahu aku tidak bisa mengendalikan emosiku bahkan aku tahu bakal tidak bisa mengeluarkan kata-kata baik, aku lebih baik diam karena agama saya mengajarkan seperti itu.

Kita tidak akan pernah tahu masa depan kita seperti apa. Masa depan bukan hanya terkait dengan uang, pekerjaan, keluarga dsb, tapi lebih penting PRIBADI kita ini akan menjadi bagaimana. Bisa jadi orang yang kita hina, kita tunjuk salah bahkan kita remehkan, satu saat entah kapan, dia akan lebih kaffah ketauhidannya daripada diri kita sendiri, akan jauh lebih baik pribadinya. Atau sebaliknya, orang yang kita puja bahkan mungkin diri kita sendiri yang mempunyai sifat ujub, justru satu saat tidak bisa istiqomah...Wallahualam bi showab...

Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu).

Orang mukmin itu bukan orang yang suka melaknat - HR Turmudzi

=======================================================================

Dear diriku sendiri,
Bila aku belum dapat berbenah diri, janganlah aku berusaha mengoreksi org lain.
Bila aku belum sanggup merubah sifat, janganlah aku menilai org lain
Dan bila aku belum terampil menjadi contoh, janganlah aku menggurui org lain
Menjadi bijak berarti telah mampu untuk menilai, mengoreksi bahkan menggurui diri sendiri hingga berubah menjadi lebih baik lagi, bahkan memarahi dan menghukum diri sendiri